Farhat Abbas Dan El Batal Tinju

Sikap tegas dari PB Pertina DKI Jakarta yang menolak memberikan izin terhadap pertarungan antara El Jalaludin Rumi atau yang akrab disapa dengan El dengan pengacara kondang Farhat Abbas mendapat tanggapan positif dari banyak pihak.

Semula begitu besar perhatian masyarakat yang menantikan terwujudnya rencana sparing partner di atas ring tersebut. Ada yang mendukung, namun banyak pula yang kontra terhadap rencana duel tersebut.

Rencana pertarungan di atas ring itu sendiri dilayangkan oleh El sebagai bentuk jawaban atas berbagai kritikan yang dilontarkan Farhat terhadap ayahnya, musisi Ahmad Dhani lewat jejaring sosial media Twitter.

Tindakan El yang melayangkan tantangan terhadap Farhat dalam pandangan Diennaryati Tjokro Suprihartono, psikolog Universitas Indonesia dianggap sebagai bentuk agresifitas yang sebenarnya tidak perlu untuk dilanjutkan. Apalagi jika membawanya ke dalam sebuah pertarungan dengan nuansa dendam.

Lebih lanjut Diennaryati mengatakan, "Memang dapat dimengerti darah muda yang sedang marah dan ingin menuntaskannya dengan cara 'lelaki'. Tapi cara itu bukanlah cara yang tepat, mengingat Farhat Abbas jauh lebih tua dari Al dan El. Cara-cara yang bernuansa balas dendam dengan cara yang bernuansa kekerasan akan mengukuhkan perilaku agresifitas pada anak anak jika dibiarkan," papar Psikolog Universitas Indonesia tersebut kepada KapanLagi.com®, Senin (2/12)

Diennaryati juga menyarankan agar Ahmad Dhani dan Maia Esthianty sebagai orangtua dapat duduk bersama dengan Al dan El guna memberikan pandangan yang bijak.

"Anak-anak perlu diberitahukan kalau masih ada cara lain yang lebih bijak dalam mengatasi masalah mereka, misalnya dengan menggunakan jalur hukum, atau membicarakannya secara etis, secara langsung. Atau paling tidak menggunakan jalur pribadi," ungkapnya.

Menurut Diennaryati ada beberapa point penting yang bisa di petik sebagai pelajaran di balik batalnya pertarungan antara El dengan Farhat Abbas.

"Yang pertama, sebagai orang dewasa selayaknya berkata dan bertindak sesuai dengan kedewasaannya dan bertanggung jawab. Jika masih mengikuti dorongan emosinya tanpa berfikir matang matang dampak dari perbuatannya akan menjadi preseden dan contoh yang buruk bagi masyarakat. Cara-cara yang tidak dewasa tidak akan menyelesaikan masalah," tuturnya.

Sementara pada poin kedua, Diennaryati mencatat bahwa penggunaan sosial media untuk masalah pribadi atau menyerang pribadi orang lain akan lebih banyak berakibat buruk daripada memberikan pendidikan untuk menyadarkannya.

Yang berkembang adalah terbentuknya defense mechanism pada kedua belah pihak yang berseteru semata untuk mempertahankan harga dirinya dan bukan untuk mendapatkan penyadaran atau hikmah yang lebih baik.

Sedangkan untuk faktor ketiga, dari batalnya pertarungan tersebut Diennaryati punya pendapat. "Kekerasan yang ditawarkan dalam menyelesaikan masalah bukan akan menyelesaikan masalah tersebut tetapi akan menciptakan masalah baru," ujarnya.

Faktor terakhir, menurut Diennaryati adalah pentingnya peran orang tua untuk membantu anak-anak remaja yang memang masih dalam taraf perkembangan mencari identitas diri agar mereka mempertimbangkan perbuatannya untuk tidak melakukan kegiatan yang justru akan berdampak kurang menguntungkan karena menggunakan cara yang kurang bijak dalam menyelesaikan masalah.

"Sikap Al dan El dalam membela nama baik orangtua adalah hal yang positif namun ada hal lain yang perlu digarisbawahi," ujarnya.
"Mereka (El dan Al) berani membela orang tuanya, namun caranya yang belum tepat karena memperturutkan agresifitas dan dorongan emosinya belaka. Akibatnya, sopan santun terhadap orang yang lebih tua terabaikan karena yang lebih tua juga memberi contoh yang tidak sopan. Sebab jika caranya tidak memperoleh penanganan segera, akan menjadi pembenaran bahwa cara yang bernuansa agresif itu merupakan cara yang benar dan bisa ditempuh. Padahal sangat keliru. Apalagi remaja yang sedang mencari identitas diri dan sedang belajar bersikap untuk menuju pendewasaan," paparnya.

Lebih jauh Diennaryati mengemukakan bahwa kebiasaan remaja untuk saling meniru akan berakibat pada ditirunya perilaku dengan nuansa agresif tersebut di kalangan remaja.

"Wah baku hantam akan semakin marak sebagai upaya pembenaran. Dari baku hantam individu, dapat semakin meluas menjadi tawuran massal seperti yang sekarang sudah menjadi persoalan," tutup Diennaryati.




sumber : kapanlagi.com

0 comments:

Post a Comment